Rabu, 28 September 2011

RESTRUKTURISASI KEGIATAN USAHA PERSEROAN TERBATAS DIKAITKAN DENGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Memasuki era perdagangan bebas, persaingan usaha diantara perusahaan-perusahaan semakin tajam. Kondisi demikian menuntut perusahaan untuk selalu mengembangkan strategi perusahaan supaya dapat mempertahankan eksistensinya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melalui penggabungan usaha. Penggabungan usaha adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entity ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan perusahaan lain atau memperoleh kendali atas aktiva dan operasi perusahaan lain. Penggabungan usaha pada umumnya dilakukan dalam bentuk merger, akuisisi, dan konsolidasi. Merger dan akuisisi merupakan suatu cara pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Keduanya merupakan alternatif investasi modal pertumbuhan secara internal atau organis. Dari waktu ke waktu perusahaan lebih menyukai pertumbuhan eksternal melalui merger dan akuisisi dibanding pertumbuhan internal.


  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Ketentuan ketentuan seperti apa sajakah yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha (termasuk juga PT) sebelum dan/atau saat melaksanakan  merger, konsolidasi, dan akuisisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
  2. Bagaimana dampak hukum dari restrukturisasi dalam menekan adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?


BAB II
PEMBAHASAN

PENGATURAN MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

            Pengaturan merger, konsolidasi, dan akuisisi badan usaha (termasuk PT) di Indonesia menurut UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak banyak diatur dalam UU ini, namun terdapat beberapa ketentuan larangan dan ketentuan pidana yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha baik sebelum dan/atau saat menjalankan kegiatan merger, akuisisi, dan konsolidasi yaitu sebagai berikut[1]:
  • Pada pasal 28 Ayat (1) dan (2) memuat ketentuan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan juga pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Singkatnya bahwa dalam ketentuan ini berisi ketentuan larangan mengenai monopoli dan atau persaingan usaha dalam kegiatan Merger dan akuisisi
  • Pada pasal 47 ayat (2) e , memuat ketentuan yang pada intinya dari pasal ini bahwa Merger dan Akuisisi yang mengakibatkan adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dapat dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dimana komisi ini adalah lembaga independen yang dibentuk khusus untuk mengawasi adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain
Selain berisi ketentuan larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat, pada UU No. 5 Tahun 1999 juga memuat ketentuan pidana yaitu:

·         Pada pasal 48 ayat (1) terdapat kententuan pidana bagi badan usaha (termasuk juga PT) yang dalam menjalankan kegiatan usahanya (merger dan akuisisi) terbukti melanggar ketentuan pasal. 28, dengan diancam pidana denda min. Rp. 25 milyar dan max. Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda max. 6 bulan
Selain itu pada pasal 49, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris min. 2 tahun dan max. 5 tahun
·         Pelaku usaha yang telah melakukan Merger dan Akuisisi sebelum UU ini berlaku, yang melanggar UU ini diberi waktu s/d tanggal 5 September 2000 untuk penyesuaian (pasal. 52 ayat (1) dan (2)).

DAMPAK HUKUM  RESTRUKTURISASI DALAM MENEKAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Restrukturisasi usaha memberikan dampak hukum secara positif , dimana upaya ini dilakukan sebagai cara/strategi dalam meningkatan kinerja perusahaan serta membangun iklim persaingan usaha yang sehat.   Selain itu segi positif yang diberikan dari suatu restrukturisasi juga diantaranya: 

·   Secara internal, perusahaan dapat beroprasi secara lebih efisien, transparan, dan professional sehingga badan usaha dapat memberikan produk/layanan terbaik dengan harga yang kompetitif kepada konsumen.
·     Eksternal, upaya restrukturisasi dapat menekan adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

Segi positif dari restrukturisasi ini sejalan dengan tujuan dan ruang lingkupnya, yaitu dengan tujuan untuk[2]:
a.    Meningkatkan kinerja dari nilai perusahaan;
b.    Memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada Negara;
c.    Menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen;
d.    Memudahkan pelaksanaan privatisasi

Restrukturisasi usaha seperti penggabungan/merger, konsolidasi dan akuisisi merupakan pilihan-pilihan strategi restrukturisasi kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu Perseroan Terbatas ditengah era perdagangan bebas dengan bentuk persaingan usaha yang semakin ketat yang mengarah pada persaingan usaha yang tidak sehat. Meskipun berbeda dari segi prosesnya, namun tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi Perseroan Terbatas pada intinya tidak berbeda yaitu tindakan dua atau lebih perusahaan untuk merestrukturisasi perusahaan.

Sebagai dampak dari restrukturisasi, kinerja perusahaan-perusahaan dalam memproduksi semakin meningkat dan sangat kompetitif, baik kompetitif dari segi kualitas maupun harga, sehingga setidaknya dapat menekan adanya praktek monopoli pada satu atau sekelompok perusahaan dikarenakan telah adanya suatu persaingan di dalam pasar (persaingan yang sehat). Dengan terciptanya efisiensi secara internal sebagai hasil restrukturisasi perusahaan, kegiatan usaha seperti diantaranya merger diharapkan bisa membawa keuntungan nyata bagi konsumen, dalam bentuk harga yang lebih rendah atau kualitas produk yang lebih baik.  Tindakan restrukturisasi juga perlu diimbangi dengan kesadaran akan komitmen untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan kompetitif yaitu dengan tidak mengarah pada peningkatan kekuatan pasar pada sekelompok perusahaan. Di dalam praktek, seringkali perusahaan melakukan merger dengan maksud selain untuk meningkatkan kualitas dan hasil produksi juga untuk menguasai pasar. Tindakan merger dalam hal untuk meningkatkan hasil dan kualitas produksi dapat dibenarkan sebatas merger tersebut tidaklah bermaksud menguasai kekuatan pasar pada satu atau sekelompok perusahaan. Dalam melakukan kegiatan usaha seperti diantaranya merger, para pelaku tetap harus memperhatikan larangan dalam pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999.



[1]  Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[2] Moch. Faisal Salam, Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, Bandung: Pustaka, 2005, hal. 174

Yurisdiksi Mahkamah Internasional (The International Court of Justice/ICJ) Dalam Hal Pemberian Advisory Opinion


Bab I
Pendahuluan

Hubungan-hubungan internasional yang terjadi antar negara tidak selamanya dapat terlaksana dengan baik. Acapkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara para pihaknya. Tujuan utama PBB adalah menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, seperti yang termuat dalam pasal 1 Piagam PBB. PBB juga mendorong agar sengketa-sengketa yang timbul diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian secara damai. Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau 'judicial settlement' dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau international court). Dalam pasal 92 Piagam PBB, dinyatakan bahwa Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) merupakan badan peradilan utama dalam PBB. Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi atau wewenang untuk : 1. Yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa antar Negara yang diserahkan kepadanya (contentius jurisdiction), dan, 2. Yurisdiksi untuk memberikan pandangan atau nasehat hukum (advisory jurisdiction). ini dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional sehubungan dengan diajukannya pertanyaan hukum oleh badan-badan lain yang diatur dalam piagam PBB dalam ruang lingkup kegiatan badan-badan tersebut. Tidak seperti yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam hal Contentius Disputes, tujuan dari dikeluarkannya Advisory Opinion bukanlah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara negara, melainkan untuk memberikan pandangan hukum atas pertanyaan yang diajukan oleh badan-badan lain dalam piagam PBB, dimana dimungkinkan bahwa pertanyaan hukum yang diajukan terkait dengan suatu sengketa internasional yang tengah ditangani oleh badan tersebut.


Bab II
Identifikasi Masalah

Bagaimanakah Yurisdiksi Yang Dimiliki Oleh Mahkamah Internasional Dalam Hal Pemberian Advisory Opinion?

Atas perihal apa sajakah  Advisory Opinion dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional dan Bagaimana Kekuatan Hukumnya Terhadap Badan Yang Mengajukannya?

Bagaimana contoh Advisory Opinion yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional ?



Bab III
Pembahasan

Yurisdiksi Yang Dimiliki Oleh Mahkamah Internasional Dalam Hal Pemberian Advisory Opinion

Mahkamah Internasional (The International Court of Justice/ICJ) merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun, Mahkamah Internasional memiliki kedudukan khusus dibandingkan 5 organ utama PBB lainnya, yaitu Mahkamah Internasional tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan badan-badan utama PBB lainnya. Mahkamah Internasional benar-benar merupakan lembaga hukum dalam sebagai suatu pengadilan (publik). Masalah jurisdiksi atau kewenangan suatu pengadilan dalam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar. Kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan pada kesepakatan dari negara-negara yang mendirikannya. Berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional yang mendasari pembentukan mahkamah tersebut (piagam/statuta).

Berdasarkan atas Piagam Mahkamah Internasional (ICJ Statue), ditentukan bahwa Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi atau wewenang atas : 1. Yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa antar Negara yang diserahkan kepadanya (contentius jurisdiction), dan, 2. Yurisdiksi untuk memberikan pandangan atau nasehat hukum (advisory jurisdiction). Yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa dan mengadili sengketa antar Negara adalah dalam ruang lingkup Mahkamah sebagai sebuah lembaga peradilan internasional, dimana Negara yang terlibat dalam suatu sengketa dengan Negara lainnya sepakat untuk secara damai menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui mekanisme penyelesaian oleh Mahkamah Internasional. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional dalam hal ini adalah bersifat final dan mengikat bagi para pihaknya. Sedangkan, yurisdiksi untuk memberikan nasihat atau pertimbangan hukum (Advisory Opinion) adalah hanya terhadap organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat atau pendapat hukum tidak diberikan kepada Negara, namun negara dapat ikut serta dalam keterlibatanpersidangan Mahkamah (dalam proses pemberian nasihat). Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya,yaitu hanya yang terkait dengan ruang lingkup kegiatan atauaktivitas dari 5 badan utama dan 16 badan khusus PBB.

Dasar hukum mengenai hal tersebut terdapat dalam pasal 96 Piagam PBB.
Isi ketentuan pasal ini berbunyi sebagai berikut:

i) Majelis Umum atau Dewan Keamanan dapat meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan nasihatnya mengenai masalahmasalah hukum yang diserahkan kepadanya;
ii) Organ-organ atau badan-badan khusus PBB lain, setiap saat dapat memohon nasihat Mahkamah Internasional mengenai masalah-masalah hukum yang timbul dari ruang lingkup kegiatannya.

Dasar hukum lainnya yang juga memberi wewenang yang lebih luas kepada Mahkamah untuk memberikan nasihatnya disamping organ-organ utama atau khusus PBB, terdapat pula dalam pasal 65 Piagam. Pasal ini menyatakan, Mahkamah dapat memberikan pendapatnya atau nasihatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badan-badan manapun juga yang diberi wewenang atau yang sesuai dengan Piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.

Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah dalam memberikan nasihat hukumnya ini biasanya termuat pula dalam konstitusi, konvensi, statuta, atau instrumen-instrumen perjanjian lainnya. Misalnya, perjanjian markas besar atau konvensi mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan suatu organisasi internasional (publik). Contoh konstitusi atau konvensi yang memuat hak untuk meminta nasihat hukum pada Mahkamah antara lain adalah Konstitusi ILO (9 Oktober 1946), Konstitusi FAO (16 Oktober 1945), Konstitusi UNESCO (16 November 1945), Konstitusi WHO (22 Juli 1946), Konvensi IMCO (yang berubah menjadi IMO) (6 Maret 1948), Statuta IAEA (24 Oktober 1956), dll.

Perihal atau Masalah Hukum yang Diajukan Untuk Mendapat Advisory Opinion Serta Sifat Kekuatan Hukumnya Terhadap Badan Yang Mengajukan Pertanyaan.

Perihal masalah hukum yang Mahkamah Internasional berikan nasihat hukumnya dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok berkut:

(1) keanggotaan suatu negara terhadap organisasi internasional, misalnya sengketa the Conditions for the Admission of a State to Membership in the United Nations Case (1948);
(2) penafsiran perjanjian, misalnya dalam sengketa the Interpretation of Peace Treaties case (1950);
(3) pembayaran iuran pada organisasi internasional, misalnya sengketa the Certain Expenses of the United Nations case (1962);
(4) status wilayah, misalnya the Eastern Sahara case (1975), the South West Africa (Namibia) (1950);53
(5) status hukum suatu organisasi internasional, misalnya dalam sengketa the Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations (1949); dan
(6) dampak atau akibat hukum dari tindakan suatu negara.

Kekuatan hukum nasihat yang diberikan oleh Mahkamah ini tidaklah mengikat. Organisasi internasional (publik) yang meminta nasihat hukum tersebut bebas untuk melaksanakan atau menolak nasihat hukum tersebut. Namun dalam praktek, badan badan atau organ-organ yang memohon nasihatnya dari Mahkamah telah menghormatinya dengan seksama. Bahkan beberapa nasihat hukum Mahkamah telah memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan hukum internasional. Contoh yang cukup terkenal dalam hal ini adalah pendapat hukum Makamah dalam sengketa the Reparation Case (1949). Dalam sengketa ini nasihat hukum Mahkamah memberikan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan hukum internasional, yakni memberikan penjelasan hukum mengenai personalitas dan kemampuan hukum organisasi internasional dalam hukum internasional.

Contoh Advisory Opinion Mahkamah Internasional

WESTERN SAHARA CASE ADVISORY OPINION OF I.C.J. REPORTS 1975

     FAKTA-FAKTA HUKUM
Sahara Barat (Western Sahara) adalah negara koloni Spanyol antara tahun 1884-1976, Western Sahara dikenal juga dengan nama Spanish Sahara.
Western Sahara berbatasan dengan Maroko di utara, Mauritania di selatan, Aljazair di timur, dan Samudera Atlantik di barat.
Berdasarkan atas Resolusi 1514 (XV) tanggal 14 Desember tahun 1960 mengenai penyerahan kemerdekaan terhadap negara-negara koloni, Majelis Umum PBB (MU) mendesak Spanyol bahwa Sahara Barat harus mendapatkan dekolonisasi dari Spanyol berdasarkan asas menentukan nasib sendiri (self-determination).
Spanyol menyetujui usulan referendum untuk menentukan nasib Sahara Barat, dibawah pengawasan PBB.
Raja Hassan, kepala Negara Maroko melalui menteri luar negerinya pada tanggal  30 September dan 2 Oktober 1974 menyampaikan pernyataan kepada Majelis Umum PBB bahwa dengan adanya suatu “keterikatan historis” antara Western Sahara dan Maroko, maka Western Sahara seharusnya menjadi bagian dari Maroko. Dengan alasan yang sama, Mauritania mengemukakan hal yang serupa.
Dengan adanya tanggapan dari Maroko dan Mauritania terkait status Western Sahara setelah referendum, Majelis Umum  PBB mengajukan  pertanyaan untuk pendapat hukum (advisory opinion) dari Mahkamah Internasional mengenai kasus ini.

PERTANYAAN YANG DIAJUKAN KEPADA MAHKAMAH INTERNASIONAL UNTUK MENDAPAT ADVISORY OPINION
a. Apakah pada masa kolonisasi Spanyol, Sahara Barat merupakan sebuah wilayah tak dimiliki siapapun (terra nullius)? Apabila jawabannya tidak, mengacu kepada pertanyaan kedua,
b. Hubungan hukum apakah yang terdapat antara wilayah ini dengan Maroko maupun Mauritania ?

PENDAPAT MAHKAMAH INTERNASIONAL

1. Mahkamah berpendapat bahwa asas self-determination dapat dipertimbangkan untuk proses pembebasan Sahara Barat.
2. Menjawab pertanyaan dari Majelis Umum PBB. Dalam Advisory Opinion-nya, Mahkamah mengutarakan sebagai berikut :
a. Pada saat Sahara Barat dibawah kolonisasi Spanyol, wilayah tersebut bukanlah merupakan terra nullius.
b. Mahkamah berpendapat bahwa memang benar adanya terdapat iktan historis antara wilayah Sahara Barat dengan Mauritania maupun Maroko tetapi hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk kedaulatan territorial di western sahara antara maroko ataupun Mauritania

SUMMARY

     Western sahara bukanlah merupakan wilayah terra nullius karena telah ada organisasi sosial dan politik yang diwakili oleh para kepala suku yang memegang kendali atas wilayah tersebut. Dalam kasus western sahara ini dapat dilihat bahwa faktor ikatan sejarah saja tidak dapat digunakan untuk menyatakan sebuah wilayah merupakan bagaian dari wilayahnya. Dimana Negara tersebut harus dapat membuktikan telah melakukan internal maupun internasional act trerhadap wilayah tersebut dan juga melakukan efektif control terhadap wilayah yang telah diklaimnya tersebut.
Western sahara dapat dikatakan merupakan wilayah bebas dimana tidak kedaulatan personality maupun badan hukum di wilayah tersebut. Sehingga western sahara memilki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Hal ini sesuai dengan Resolusi MU No. 1514(XV) dan juga merupakan suatu prinsip hukum umum (ius cogens) dalam hukum internaisonal.  





TENTANG GUGATAN, TEMPAT GUGATAN, RAPAT PERMUSYAWARATAN, DAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN DI PTUN


TENTANG GUGATAN DI PTUN

Pengertian gugatan.menurut pasal 1 angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Gugatan di Peradilan TUN diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Adanya unsur kepentingan dalam pengajuan gugatan inilah yang merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peradilan TUN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1) dimana ketentuan pasal ini menjadi dasar mengenai siapa yang bertindak sebagai subjek penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan. Mengenai alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 telah mengubah ketentuan pasal pada UU PTUN sebelumnya, adapun alasan-alasannya sebagai berikut:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b)    Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :

a.    nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b.    nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c.    dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.

Mengenai Isi gugatan secara garis besar gugatan sengketa tata usaha Negara berisikan tentang Identitas lengkap para pihak, baik penggugat maupun tergugat. Selain identitas, dalam suatu gugatan juga berisi posita gugatan (Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004), alasan gugatan (Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004), petitum gugatan/ apa yang dituntut oleh penggugat dalam suatu surat gugatan yang terdiri dari petitum pokok dan petitum tambahan. Setelah itu yang terakhir adalah penutup yang berisi ucapan salam hormat dan tanda tangan kuasa hukum penggugat.

Dalam mengajukan gugatan pun perlu memperhatikan tenggang waktu dalam pengajuannya dimana pengaturan mengenai tenggang waktu mengajukan gugatan diatur dalam pasal 55 UU PTUN. Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari. Tengang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi:
  1. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat.
  2. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan namun ia tidak berbuat apa-apa.
  3. Setelah 4 bulan apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
  4. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus di umumkan.

TEMPAT GUGATAN

Mengenai tempat gugatan, dalam hukum acara peradilan TUN, pengajuan gugatan TUN sama halnya dengan pengajuan gugatan perdata yaitu gugatan diajukan ke Pengadilan tempat tinggal tergugat (dalam acara peradilan TUN yang menjadi tergugat adalah badan/ pejabat TUN yang bersangkutan), hal ini dikenal dalam hukum acara sebagai actor sequitur forum rei.

RAPAT PERMUSYAWARATAN
Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a.  Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c.    gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d.    Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e.    Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.

Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

PEMERIKSAAN PERSIAPAN

Pemeriksaan persiapan pada dasarnya dilakukan sebelum tahap pemeriksaan pada pokok sengketa dalam hal ini hakim wajib mengadakan  pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum, dan juga pemeriksaan persiapan juga tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa toga. Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
  • Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
  • Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.        
 
HUKUM © 2010 | Designed by Chica Blogger & editted by Blog Berita | Back to top