Selasa, 04 Januari 2011

Perbandingan Antara UU NO. 23 TAHUN 1997 (UUPLH) dengan UU NO. 32 TAHUN 2009 (UUPPLH)

PERBANDINGAN ANTARA
UU NO. 23 TAHUN 1997 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2009

Didalam suatu proses membandingkan tentunya akan ditemukan perbedaan antara keduanya, dan dalam hal ini, saya (penulis) mencoba membandingkan antara UUPLH dengan UUPPLH dengan menelaah lebih lanjut perbedaan dalam pasal-pasalnya. Namun sebelum masuk pada analisa perbedaannya, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau dapat disingkat UUPLH, sejak tanggal 3 Oktober 2009, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Berbeda dengan UU sebelumnya, UUPPLH memberikan suatu prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik dan Undang-Undang ini pun mengatur keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup, kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah serta penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium. Adapun sistematika UUPPLH ini yaitu terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Begitu banyak ketentuan pasal yang ditemukan dalam UUPPLH, namun tidak ditemukan dalam UUPLH, atau dengan kata lain terdapat penambahan pengaturan dalam UU No.32 tahun 2009 terhadap UU sebelumnya. Beberapa ketentuan yang disebutkan dalam UUPPLH namun tidak disebutkan / diatur dalam UUPLH (UU No.23 tahun 1997) yaitu:
·         Dalam Pasal 1 Ketentuan Umum, UU No. 32 tahun 2009 (UUPPLH) menyebutkan diantaranya pengertian tentang Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, Perubahan iklim, Pengelolaan Limbah B3, Ekoregion, Kearifan lokal, Masyarakat hukum adat, Instrumen ekonomi lingkungan hidup, Izin lingkungan, dsb. Dari yang telah disebutkan, Secara tidak langsung menurut analisa penulis, bila dalam Pasal 1 Ketentuan Umum tidak disebutkan hal-hal diatas, maka otomatis tidak akan ada pasal-pasal selanjutnya yang mengatur tentang hal ini khususnya didalam UU No. 23 tahun 1997.
·         Dalam UU No. 32 tahun 2009 mengatur mengenai perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sedangkan dalam UU sebelumnya tidak mengatur hal itu. UUPPLH mengatur pula tentang pemanfaatan sedangkan UU sebelumnya tidak mengatur tentang itu. Begitu halnya untuk Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Kewajiban setiap orang dalam hal penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, kewajiban Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam hal pemulihan fungsi lingkungan hidup, system informasi, Gugatan Administratif, Penyidik terpadu, Tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah,  dsb.  Semua yang telah disebutkan itu tidak ditemukan dalam UU. No.23 tahun 1997.

·         Dalam hal Pembuktian, UUPPLH menyebutkan Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup yang terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan UU sebelumnya tidak diatur mengenai alat bukti.

Setelah mengetahui hal tersebut, maka selanjutnya penulis mencoba membandingkan serta menemukan perbedaan ketentuan dalam kedua undang-undang ini dengan menambahkan juga komentar terhadap beberapa ketentuan tersebut.
Yang disebutkan pertama merupakan ketentuan pasal dalam UU No. 23 tahun 1997 dan yang disebut terakhir merupakan ketentuan pasal dalam UU No. 32 tahun 2009

1.    .Pasal 1 Ketentuan Umum mengenai pengertian sumber daya
·         Sumber daya adalah unsur lingkungan bidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan;

·         Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
Komentar   : Dalam UUPPLH tidak lagi disebutkan SDM dan SDA karena menurut asumsi penulis dengan disebutkannnya sumber daya hayati dan nonhayati saja sudah dinilai mencangkup pula didalamnya SDA dan SDM.  

2.    Terdapat kata yang rancu dalam hal pengertian AMDAL

·         Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan

·         Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Komentar   :   Dalam UU No. 23 tahun 1997 tertulis kata “dampak besar dan penting” menimbulkan asumsi, berarti ada dua dampak yaitu dampak besar dan dampak penting, sedangkan UU ini tidak mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal selanjutnya mengenai apa saja dampak besar itu, jadi sulit untuk dimengerti maksud keberadaan kata “besar” dalam UU ini ataupun terkesan rancu dan mubazir. Selain ketidakjelasan maksud kata itu, hilangnya kata “besar” dalam UUPPLH menimbulkan asumsi lain dari penulis yang mungkin dampak “besar” itu sudah dikaji atau dimasukkan dalam lingkup suatu permasalahan yang penting sehingga tidak lagi rancu dan tidak perlu lagi disebutkan kata “besar” hanya dampak penting saja yang disebutkan dalam UUPPLH dengan penegasan pada ayat (2) pasal ini mengenai apa saja dampak penting itu.

3.    Dalam hal pengertian mengenai Pencemaran Lingkungan hidup

·         Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya

·         Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
 
Komentar   : Menurut asumsi penulis, pengertian pencemaran lingkungan hidup menurut UUPLH yaitu bilamana terjadi penurunan kualitas atau turun dari standar yang semestinya, sedangkan dalam UUPPLH, dikatakan pencemaran lingkungan bilamana “melampaui baku mutu lingkungan hidup” atau dapat dikatakan pencemaran linggkungan terjadi bila ada overlimit dari baku mutu yang sudah ditetapkan.

4.    Pasal 3 UUPLH dengan Pasal 2 UUPPLH Mengenai Asas

·         Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

·         Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik. n. otonomi daerah.
Komentar   :      Jelas terlihat bahwa terdapat penambahan Asas dalam hal pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk asas dalam otonomi daerah, tata kelola pemerintahan yang baik, yang kesemua asas dalam UUPPLH ini membuat suatu penguatan perlindungan yang menjadi nilai lebih ketimbang UU sebelumnya.

5.    Pasal 4 UUPLH dengan Pasal 3 UUPPLH Mengenai Tujuan

·         Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah : 1). tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; 2). terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup; 3). terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; 4). tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; 5). terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana; 6). terlindungnya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

·         Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a). melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b). menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c). menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d). menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e). mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f). menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g). menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h). mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i). mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j). mengantisipasi isu lingkungan global.
Komentar    : Dapat dilihat bahwa terdapat penambahan tujuan atau sasaran termasuk diantaranya tujuan untuk mengantisipasi isu lingkungan global.

6.    Pasal 17 ayat (1) UUPLH dan Pasal 58 ayat (1) UUPPLH mengenai Pengelolaan B3

·         Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

·         Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia,  menghasilkan,  mengangkut,  mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
Komentar  :    Dapat dilihat perbedaannya bahwa dalam pasal 17 ayat (1) UUPLH hanya menyebutkan “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan” sedangkan dalam Pasal 58 ayat (1) UUPPLH menyebutkan “setiap orang” dengan begitu berarti ada perluasan lingkup yang tadinya hanya untuk penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan saja, kini menjadi setiap orang atau berlaku untuk setiap orang termasuk diluar wilayah NKRI.

7.    Mengenai Peran Masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup

·         Pasal 7 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 bahwa Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
·         Pasal 70 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 bahwa Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Komentar      : Terdapat penambahan kata “hak” dengan begitu masyarakat juga memiliki hak yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif.

8.    Mengenai Audit Lingkungan Hidup 

·         Pasal 1 Ketentuan Umum angka 23, Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan

·         Pasal 48 dan Pasal 49 ayat 1-3, Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup. Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.
Komentar :  Dalam UU No.23 tahun 1997, tidak ada ketentuan khusus terhadap perusahaan yang melakukan usaha beresiko tinggi atau tidak disebutkan mengenai kegiatan tertentu yang beresiko tinggi.

9.    Mengenai Sanksi Administrasi
 
·         Pasal 25 ayat (1), bahwa Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
·         Pasal 76 ayat (1), bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administrative kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
Komentar    : Dalam UU No.23 tahun 1997, Menteri tidak berwenang memberikan sanksi administratif, sedangkan sekarang dalam UUPPLH Menteri menjadi berwenang untuk memberikan sanksi administrative. Dan UU No.32 tahun 2009 lebih lengkap dibanding UU sebelumnya karena menyebutkan sanksi administrative itu dalam ayat (2) nya.

10.    Mengenai Ketentuan Pidana

·         Dalam UU No. 23 tahun 1997 dari Pasal 41-47, Secara keseluruhan sanksi pidana yang di terapkan dalam undang-undang ini telah tertinggal serta tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Secara umum,denda yang di ancamkan dalam undang-undang ini berkisar antara puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.
·         Dalam UU No. 32 Tahun 2009 dari Pasal 98-117, Sanksi pidana yang di atur dalam undang-undang ini secara keseluruhan lebih berat di banding undang-undang no 23 tahun 1997, secara umum denda yang di ancamkan dalam undang-undang ini berkisar antara ratusan juta rupiah sampai puluhan miliar rupiah.

11.     Mengenai Larangan

·         Pasal 20  UU No.23 tahun 1997
(1)  Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. 
(2)  Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
·         Pasal 69 UU No.32 tahun 2009
Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang- undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau  izin lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Komentar  :  Larangan yang diatur dalam pasal 20 UUPLH, kurang lengkap dibanding UUPPLH sekarang karena larangannya terhadap pembuangan limbah saja. Sedangkan dalam UU No.32 tahun 2009 larangan itu ditambah. Meliputi diantaranya larangan melepaskan produk rekayasa genetik, dsb. Dengan kata lain lebih detail dan lengkap bila melihat UU. No 32 tahun 2009

12.   Mengenai Hasil Penyidikan PPNS

·         Pasal 40 ayat (4) UUPLH, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
·         Pasal 94 ayat (6) UUPPLH, Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.

13.  Mengenai Penyidikan

·         UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 40 ayat (5), Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleb penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Sedangkan dalam UU. No.32 Tahun 2009, tidak di atur mengenai Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif.

14.    Mengenai Persyaratan mengajukan gugatan Organisasi Lingkungan Hidup

·         Pasal 38 ayat (3) UUPLH, Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan : 1). berbentuk badan hukum atau yayasan; 2). dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; 3). telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
·         Pasal 92 ayat (3) UUPPLH, Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a). berbentuk badan hukum; b). menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c). telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Komentar   : Pebedaan kedua pasal diatas dapat dilihat pada huruf (c) dimana  menurut UUPPLH disebutkan jangka waktu “paling singkat 2 tahun”

15.    Mengenai Hak Masyarakat untuk mengajukan gugatan

·         UU. No. 23 tahun 1997 Pasal 37 ayat (1) bahwa Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. (2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
·         UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 91 ayat (1) bahwa Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa,dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Komentar     : Dalam UU No. 32 Tahun 2009, ternyata gugatan perwakilan kelompok juga dapat dilakukan untuk kepentingan sendiri, berbeda dengan UU sebelumnya yang diajukan hanya untuk kepentingan masyarakat bilamana  masalah lingkungan hidup merugikan perikehidupan masyarakat. UU No. 23 Tahun 1997 juga melibatkan instansi pemerintah dalam hal masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Kelebihan UUPPLH dengan UU sebelumnya yaitu menyebutkan kriteria untuk dapat diajukan gugatan perwakilan kelompok di ayat (2) nya.

16.     Mengenai Pengawasan

·         Pasal 22 ayat 1-3 UU No. 23 Tahun 1997 bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
·         Pasal 71 ayat 1-3 UU No. 32 Tahun 2009 bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya  dalam  melakukan  pengawasan  kepada pejabat/instansi  teknis  yang  bertanggung  jawab  di  bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional

Komentar   :  Berbeda dengan UU sebelumnya yang hanya menyebutkan bahwa Menteri lah yang semata-mata berwenang dalam hal pengawasan, UU No.32 tahun 2009 pasal 71 ayat 1-3 dalam hal melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan juga menyebutkan “Gubernur, atau bupati/walikota”. Dengan demikian gubernur atau bupati/walikota kini menurut UU sekarang berwenang untuk melakukan pengawasan tidak seperti dulu sewaktu mempergunakan UU No. 23 tahun 1997.

17.     Mengenai AMDAL 

·         UU No. 23 Tahun 1997 hanya menyebut secara singkat serta tidak di atur lebih lanjut.
·         UU. No.32 Tahun 2009 dari pasal 22-33, diatur dengan detail mengenai Analisis mengenai dampak lingkungan.


Perkawinan Antar Agama


BAB I
PENDAHULUAN

I.1.       LATAR BELAKANG

Perkawinan di Indonesia sekarang ini telah diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1975 dan UU ini pun berlaku unifikasi, mengingat sebelum adanya undang-undang ini banyak peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan seperti diantaranya GHR, HOCI, dsb. Dengan berlakunya UU Perkawinan ini, berdasarkan pasal 66 UUP, ketentuan lain sebelum undang-undang ini, sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan, dinyatakan tidak berlaku. Namun dari ketentuan ini pula, membuka kemungkinan untuk berlakunya GHR kembali dalam hal mengatur permasalahan perkawinan beda agama karena dalam UUP sendiri tidak ada ketentuan yang mengatur tentang perkawinan beda agama, mengingat permasalahan ini (perkawinan beda agama) tidak mungkin dapat di unifikasi karena termasuk dalam kategori hukum yang sensitif.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Disamping itu, dalam UU Perkawinan pun diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun bagaimana halnya dalam Perkawinan beda agama. Mengingat dinegara Indonesia ini berdasarkan UU No.1/PNPS/1965 diakui ada 5 macam agama yaitu: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, bahkan ditambah lagi semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid, diakui agama Konghuchu, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun berbeda bilamana kondisi ekonominya serba pas-pasan, tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum. Masalah lain pun timbul takhanya soal ekonomi, melainkan kepastian hukum bagi mereka diantaranya: status keabsahan perkawinan mereka dilihat dari agama masing-masing ataupun status legal secara administratif, dan hukum agama mana yang akan mereka gunakan dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional Indonesia karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA. Akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat sering pula disebut sebagai perkawinan campuran. Untuk memudahkan, tulisan ini hanya akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.

I.2.       IDENTIFIKASI MASALAH
            Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama?
      Apakah UU Perkawinan mengatur/menyebutkan mengenai perkawinan beda agama?
3.      Lembaga manakah yang berwenang untuk mencatat perkawinan beda agama?
4.      Bagaimana pada akhirnya para pihak dapat melaksanakan perkawinan beda agama tanpa faktor penghalang, apakah salah satu pihak diharuskan beralih agama?

BAB II
KASUS POSISI

Sebelum masuk pada bab Pembahasan, dalam bab ini penulis mencoba mengangkat kembali kasus perkawinan beda agama antara pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou sebagai rujukan dalam makalah ini. Dengan uraian kasus posisi sebagai berikut:
Perkawinan Beda Agama Antara Pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou
Subjek Hukum
1.      Jamal Mirdad
2.      Lydia Kandou
Fakta Hukum
Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam, pada tahun 1986  melangsungkan pernikahan mereka yang begitu kontroversial karena perbedaan agama. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu secara sah. Undang-undang  tersebut menyatakan : "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh agama yang bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil. Pasangan artis beda agama ini pada awalnya akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) namun KUA menolak dengan alasan mereka akan mencatat perkawinan/menikahkan pasangan dengan keduanya beragama Islam, dan kemudian  mereka menempuh jalan akhir yaitu KCS (Kantor Catatan Sipil), namun dari pihak KCS pun mensyaratkan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan di Pengadilan.
Akibat Hukum
Konsekuensinya, banyak pasangan berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka baik di Kantor Urusan Agama maupun di Kantor Catatan Sipil. Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian di Pengadilan Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986  tersebut begitu menggemparkan. Tentangan dan kecaman dari para tokoh agama dan masyarakat menghantam secara bertubi-tubi pasangan ini.
Analisa
Bahwa perbedaan agama dari calon mempelai sama sekali tidak menjadi halangan untuk suatu perkawinan. Ini memang merupakan keluasan yang pernah dibuka oleh peraturan tentang Perkawinan Campuran Stbl. 1898 Nomor 158 pasal 7 ayat (2). Dalam praktek penyelenggaraan Catatan Sipil dahulu (dan ternyata sampai sekarang masih juga bisa berlangsung di sementara Kantor Catatan Sipil) perkawinan campuran karena berbeda agama telah berlangsung dengan lancar di Kantor Catatan Sipil. Sebab, pegawai atau pegawai luar biasa Catatan Sipil memang berwenang melakukannya berdasarkan pasal 60 Stbl. 1849 Nomor 25 (untuk golongan Eropa dan Bumiputra serta mereka yang dipersamakan dengan bangsa Eropa), pasal 48 Stbl. 1933 Nomor 75 (Untuk golongan Indonesia Kristen di Jawa, Madura, dan Minahasa) atau pasal 68 Stbl. 1919 Nomor 81 (untuk golongan Tionghoa). ketentuan-ketentuan lama tersebut masih berlaku berdasarkan pada pasal 66 UUP.
Penyelesaian
Pada akhirnya pasangan beda agama Jamal Mirdad dan Lydia Kandou mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan permohonannya dikabulkan sehingga mereka berdua mendapat izin untuk menikah di Kantor Catatan Sipil.

BAB III
PEMBAHASAN

III. 1.   Pandangan Masing-Masing Agama Mengenai Perkawinan Beda Agama
Sebagaimana telah disinggung dalam Latar Belakang, di Indonesia diakui 5 (lima) agama berdasarkan UU.No.1/PNPS/1965 yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Kemudian menyusul Konghuchu yang juga diakui semasa rezim Presiden Abdurrahman Wahid. Masing-masing agama yang diakui ini mempunyai ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya. Pada prinsipnya setiap agama menghendaki penganutnya untuk kawin dengan orang yang sama agamanya dan tidak menghendaki penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama lainnya, bahkan ada agama yang melarang keras penganutnya untuk kawin dengan penganut agama lain. Namun taktertutup kemungkinan dapat terjadi perkawinan beda agama melihat pluralistik masyarakat Indonesia. Berikut adalah pandangan masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama yaitu menurut pandangan:
·         Agama Islam
Pada prinsipnya menurut pandangan agama Islam, tidak diperkenankan adanya perkawinan antar(beda) agama, dan hal ini secara tegas diatur dalam al-Quran yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 221. Larangan perkawinan dalam surat ini berlaku bagi pria dan wanita yang beragama Islam. Ditegaskan kembali bahwa dalam surat al-Baqarah ayat 221 bahwa wanita Islam dilarang kawin dengan laki-laki musyrik atau kafir atau dengan laki-laki ahli kitab. Namun untuk Laki-laki Islam diberikan suatu dispensasi/pengecualian terhadap perkawinan beda agama ini, menurut ketentuan dalam surat Al-Maidah ayat 5, diperbolehkan bagi laki-laki Islam untuk mengawini wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Selain berdasarkan pada ayat al-Qur’an tersebut, juga berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah Al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi yang senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah menikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. Dengan begitu kesimpulannya bahwa hukum Islam membolehkan laki-laki yang beragama Islam untuk mengawini wanita yang beragama Nasrani dan Yahudi (kalau di Indonesia Katholik dan Protestan). Hal ini disebabkan karena antara agama Islam dengan Katholik dan Protestan sama-sama mengajarkan iman kepada Allah, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul Allah.
·         Agama Katholik
Menurut pandangan agama Katolik mengenai perkawinan beda agama yaitu secara tegas menyatakan dalam Kanon 1086, bahwa “perkawinan antara seorang Katholik dengan penganut agama lain tidak sah”. Namun demikian, bagi mereka yang sulit untuk dipisahkan karena cintanya yang kuat, maka pejabat gereja yang berwenang yakni Uskup dapat memberi dispensasi dengan jalan mengawinkan pemeluk agama katholik dengan penganut agama lain, asalkan keduanya memenuhi syarat yang telah ditentukan hukum gereja dalam Kanon 1125, sebagai berikut:
o   Bagi yang beragama Katholik bersedia untuk tetap setia pada iman agamanya yaitu Katholik, dan berusaha/ diwajibkan membabtiskan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katholik
o   Bagi yang tidak beragama Katholik, berjanji sebagai berikut:
1.      Menerima perkawinan secara Katholik
2.      Tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katholik
3.      Tidak akan menghalang-halangi pihak Katholik melaksanakan imannya
4.      Bersedia mendidik anak-anak mereka secara Katholik
Dengan adanya syarat-syarat dalam Kanon 1125, tampak bahwa agama Katholik mencegah penganutnya untuk beralih agamanya atau minimal mencegah menurunnya tingkat keimanan penganutnya setelah kawin dengan penganut agama lain. Dalam Kanon 1056 pun menetapkan bahwa sifat-sifat perkawinan menurut agama katholik adalah monogamy dan tidak terceraikan sebelum salah satu diantara mereka (suami isteri) meninggal dunia.
·         Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama karena tujuan utama perkawinan untuk mencari kebahagiaan yang dapat dicapai dengan iman yang sama. Gereja Protestan menganjurkan mencari pasangan hidup yang seiman. Tetapi dalam keadaan darurat Gereja Protestan mengijinkan perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh gereja, seperti GKI (Gereja Kristen Indonesia) menetapkan antara lain:
o   Bagi yang beragama Protestan menandatangani perjanjian sebagai berikut:
1.      Tetap melaksanakan iman Kristennya
2.      Akan membabtis anak-anak mereka secara Kristen
3.      Berjanji akan mendidik anak-anak mereka secara Kristen
o   Bagi yang bukan beragama Protestan, harus menandatangani surat pernyataan bahwa ia:
1.      Tidak keberatan perkawinan dilaksanakan di gereja Protestan
2.      Tidak keberatan anak-anak mereka dididik secara Kristen Protestan
Bila dibandingkan perkawinan antara orang yang beragama Kristen dengan orang yang bukan beragama Islam, Gereja Kristen Protestan lebih menyukai perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan pemeluk agama Katholik karena diantara kedua agama itu bukanlah perkawinan beda agama melainkan beda Gereja saja, mereka dipersatukan dalam “Satu tubuh Yesus Kristus” dan memunyai misi yang sama. Gereja Protestan juga memberi kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja.
·         Agama Hindu
Dalam agama Hindu perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan oleh pedande/pendeta dan pedande hanya melaksanakan perkawinan bila kedua-duanya beragama Hindu. Disamping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar pemeluk agama Hindu dengan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Dapat dilihat dalam kitab Manudharmasastra III : 20 dan M.III: 21 yang menyebutkan delapan bentuk perkawinan, dan tidak ada satupun mengenai perkawinan antar agama. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia wajib disucikan sebagai penganut agama Hindu dan menandatangani “Hani” (surat pernyataan maasuk agama Hindu), kalau tidak disucikan akan melanggar ketentuan dalam Seloka V-89 Kitab Manawadharmasastra.

·         Agama Budha
Sesungguhnya dalam agama Budha, perkawinan itu sebagai salah satu bentuk kehidupan yang selalu dicengkram oleh duka (penderitaan) dan dalam suatu perkawinan kebahagiaan yang diperoleh itu hanya bersifat kebahagiaan duniawi sedangkan kebahagiaan tertinggi ialah Nirwana, dimana untuk mencapainya diperlukan pemadam semua kotoran bathin termasuk nafsu seks. Jadi dalam ajaran Budha tidak ada hukum yang mengatur masalah perkawinan. Pandangan Agama Budha terhadap perkawinan antar agama, ternyata dalam kitab suci Tripitaka tidak diatur tatacara perkawinan. Namun dalam praktiknya salah satu syarat yang wajib dipenuhi untuk melakukan perkawinan adalah se-Dharma (seagama). Ketentuan lain, penulis temukan dalam buku “Perkawinan antar agama dalam teori dan praktek” karangan O.S, Eoh, S.H, M.S, bahwa  perkawinan antar agama menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan masuk agama budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma, dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Walaupun sebenarnya ia hanya menundukan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan, mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.  
III. 2.   Undang-Undang Perkawinan Tidak Mengatur Mengenai Perkawinan Beda Agama
                        Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam ketentuan pasalnya tidak ada atau tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama, hanya dalam pasal 57 UUP yang menyebutkan pengertian dari perkawinan campuran yaitu “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Dari pengertian tersebut berbeda sekali dengan pengaturan perkawinan antar agama. UUP menganggap perkawinan campuran yaitu perkawinan dengan beda kewarganegaraan bukanlah beda agama. Jadi jelas dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antar agama berikut pula dalam PP No.9 Tahun 1975 tidak mengatur mengenai tata cara perkawinan beda agama.  Dengan tidak diaturnya perkawinan beda agama di dalam UU Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975, bukan berarti adanya kekosongan hukum. Peraturan tentang perkawinan campuran (stbl. 1898 No. 158) dan Yurisprudensi dapat mengisi kekosongan hukum perkawinan beda agama. Sebenarnya ketentuan pasal 66 UUP sendiri membuka kemungkinan dipergunakan kembali GHR dalam memecahkan masalah perkawinan beda agama.
III. 3.   Lembaga yang berwenang mencatat perkawinan beda agama
                        Lembaga yang berwenang mencatat perkawinan sebagaimana diketahui ada dua lembaga yaitu Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. KUA berwenang hanya untuk pasangan yang menikah dengan kedua-duanya beragama Islam dan KCS bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan kedua-duanya beragama selain Islam. Lalu pertanyaan besar timbul bagaimana nasib pasangan yang berbeda agama satu dengan lainnya dan ke lembaga mana mereka akan melangsungkan perkawinan? Kiranya untuk dapat menjawab pertanyaan besar ini penulis merujuk pada proses perkawinan beda agama antara Jamal Mirdad dan lidya Kandou pada tahun 1986. Pasangan artis beda agama ini pada awalnya akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) namun KUA menolak dengan alasan mereka akan mencatat perkawinan/menikahkan pasangan dengan keduanya beragama Islam, dan kemudian  mereka menempuh jalan akhir yaitu KCS (Kantor Catatan Sipil), namun dari pihak KCS pun mensyaratkan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan di Pengadilan. Pegawai atau pegawai luar biasa Catatan Sipil memang berwenang melakukannya berdasarkan pasal 60 Stbl. 1849 Nomor 25 (untuk golongan Eropa dan Bumiputra serta mereka yang dipersamakan dengan bangsa Eropa), pasal 48 Stbl. 1933 Nomor 75 (Untuk golongan Indonesia Kristen di Jawa, Madura, dan Minahasa) atau pasal 68 Stbl. 1919 Nomor 81 (untuk golongan Tionghoa) dengan tidak menjadikan Agama sebagai faktor penghalang perkawinan berdasarkan Pasal 7 ayat (2) GHR. Ketentuan dalam stbl dan GHR masih berlaku karena dalam UU Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama (lihat pasal 66 UUP). Untuk kemudian permohonan Jamal Mirdad dan Lidya Kandou dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan adanya izin dari Pengadilan Negeri, mereka dapat menikah di Kantor Catatan Sipil. Jadi dapat disimpulkan bahwa Lembaga yang berwenang mencatat perkawinan beda agama yaitu Kantor Catatan Sipil (KCS).
III. 4.   Pelaksanaan Perkawinan beda Agama tidak mengharuskan beralih agama
                        Dalam praktiknya pasangan beda agama selalu merasa perbedaan agama mereka menjadi faktor penghambat mereka untuk melakukan perkawinan. Sehingga terkadang timbul pemikiran pendek dengan perbuatan nekad salah satu pihak bisa saja mengambil jalan untuk beralih agama hanya untuk dapat menikah. Dalam pasal 7 ayat (2) GHR secara tegas ditetapkan bahwa perbedaan agama, keturunan, atau suku bangsa tidak akan menjadi penghalang suatu perkawinan. Pelaksanaan perkawinan meskipun itu beda agama akan tetap dilaksanakan karena agama tidak akan menjadi penghalang perkawinan. Apabila perbedaan agama dijadikan penghalang untuk terjadinya suatu perkawinan, maka bisa saja salah satu pihak oleh karena kuatnya rasa cinta mereka dan tetap ingin melangsungkan perkawinan akan menghalalkan cara sekalipun ia harus beralih agama secara pura-pura. Kalau sampai terjadi hal demikian maka ini merupakan suatu penyelundupan hukum. Tanpa beralih agama pun, mereka berdua kalau memang mau perkawinan dapat dilakukan dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama pihak lainnya pada saat perkawinan dilaksanakan atau apabila dua orang yang berbeda agama itu tetap mempertahankan agama yang dianutnya, bisa saja perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Jadi tidak usah beralih agama apalagi kalau peralihan itu dilakukan secara pura-pura hanya sekedar untuk mengadakan perkawinan. Disamping itu mereka bisa bermusyawarah ntuk memilih hukum mana yang akan dipakai, kalau tidak ada kesepakatan, maka hukum suami yang akan dipakai. 


BAB IV
KESIMPULAN

1.       Berdasarkan pandangan masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama bahwa Agama Islam (khususnya pria muslim yang menikahi ahli kitab), Agama Katholik, dan Protestan memperbolehkan perkawinan antar/beda agama, sedangkan Agama Hindu, Budha, dan agama Islam (khususnya wanita Islam yang menikah dengan laki-laki non muslim), tidak membenarkan perkawinan beda agama.
2.      UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama, namun dengan tidak diaturnya dalam UU ini tidak berarti terdapat kekosongan hukum, hakim dapat mempergunakan ketentuan dalam GHR untuk mengatasi masalah ini, terlebih lagi ketentuan pasal 66 UUP, meskipun UUP berlaku unifikasi, dalam ketentuan pasal itu bila ada yang tidak diatur dalam UUP maka ketentuan sebelum UUP dapat dipergunakan kembali.
3.       Lembaga yang berwenang untuk mencatat perkawinan beda agama yaitu Kantor Catatan Sipil dengan merujuk pada proses perkawinan Pasangan Jamal Mirdad dan Lidya Kandou dengan mengajukan permohonan Pengadilan untuk dapat izin menikah di KCS.
4.      Agama bukanlah faktor penghalang untuk dilaksanakannya perkawinan sesuai ketentuan pasal 7 ayat (2) GHR, dan tidak usah beralih agama apalagi kalau peralihan itu dilakukan secara pura-pura karena dapat dilakukan penundukkan diri pada hukum agama salah satu pihak atau jika keduanya tetap ingin mempertahankan agamanya, dapat melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Daud Ali, Muhammad, Sikap Negara dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Warga Negara dan Perkawinan Antar Pemeluk Agama yang Berbeda, Mimbar Hukum No.5 Th. III, Jakarta, 1992
O.S, EOH. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
·         Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
 
HUKUM © 2010 | Designed by Chica Blogger & editted by Blog Berita | Back to top