Selasa, 04 Januari 2011

IMPLIKASI PERUBAHAN KEDUDUKAN MPR


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Silih bergantinya Indonesia dalam menganut sistem pemerintahan membawa suatu perubahan dalam tatanan kelembagaan negara di dalamnya. Indonesia pada zaman orde lama menganut sistem pemerintahan parlementer dimana terlihat kedudukan MPR yang sangat “unik” yaitu bahwa MPR berada di puncak tertinggi membawahi lembaga Negara yang lain oleh karena MPR semasa sistem pemerintahan itu menjadi pemegang status pelaksana kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen.dengan kalimat : “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Dengan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, tidak menutup kemungkinan di dalam praktek terjadi kesewenangan mengunakan kekuasaan, untuk itu perlu dilakukan perubahan kedudukan MPR secara structural dari vertical menjadi horizontal dengan maksud agar tidak lagi menjadi “supreme body” dengan kewenangan tanpa kontrol. Berubahnya hierarki MPR secara struktural dari vertikal menjadi horizontal, menimbulkan implikasi terhadap pemegang status pelaksana kedaulatan rakyat, tugas dan wewenangnya, serta susunan kedudukan dari MPR, takhanya sampai disitu, perubahan hierarki MPR merupakan cikal bakal penerapan sistem check and balances. Kesemua implikasinya lebih lanjut akan diuraikan secara mendalam dalam bab pembahasan.

I.2 PERMASALAHAN
·         Dalam hierarki kelembagaan negara, perubahan kedudukan MPR berimplikasi terhadap apa saja?
·         Adakah peluang besar penerapan sistem check and balances pasca perubahan kedudukan MPR?

I.2 LANDASAN TEORI
·         Teori Kedaulatan Rakyat oleh J.J. Rosseau dan kedaulatan rakyat menurut
      Immanuel Kant
·         Teori pemisahan kekuasaan (separation of   power) dan Teori pembagian kekuasaan (distribution of  power)


BAB II
PEMBAHASAN

Perubahan pemegang status pelaksana kedaulatan rakyat

Sebagaimana dapat diketahui, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kini telah diamandemen, dan permasalahan dari pasal ini membahas mengenai pelaksana daripada kedaulatan rakyat yang juga hal ini merupakan implikasi perubahan hierarki MPR secara struktural dari vertikal menjadi horizontal. Sebelum amandemen UUD 1945 (menganut sistem pemerintahan parlementer), paham kedaulatan rakyat yang dianut, diorganisasikan melalui pelembagaan MPR yang dikonstruksikan sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik melalui DPR, perwakilan daerah melalui Utusan Daerah, dan perwakilan fungsional melalui Utusan Golongan. Ketiganya dimaksudkan untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat benar-benar tercermin dalam keanggotaan MPR.
Menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen, MPR adalah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan kedudukan secara struktural berada di puncak tertinggi, untuk itu dinamakan lembaga tertinggi negara, bahkan Parlemen (DPR) pun yang biasanya parlemen dianggap sebagai satu-satunya wadah yang mencakup wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu berada di bawah MPR. Dengan posisi nya secara hierarki vertikal, MPR berfungsi sebagai “supreme body  yang memiliki kewenangan tertinggi tanpa kontrol.  Kewenangan tanpa kontrol ini merupakan salah satu dari beberapa gagasan untuk mengubah posisi struktural MPR dari vertical menjadi horizontal, gagasan lain dalam perubahan ini yaitu atas dasar pemikiran bahwa kedaulatan rakyat tidak hanya dilaksanakan oleh MPR melainkan lembaga Negara lain pun adalah pelaksana kedaulatan rakyat seperti dalam hal penjelmaan rakyat untuk bidang politik melalui DPR, pelaksana pemerintahan oleh presiden, dan harapan seluruh rakyat untuk mendapatkan keadilan disalurkan lewat kekuasaan kehakiman, dasar pemikiran ini menjadi gagasan utama untuk mengubah isi pasal 1 ayat (2) UUD sebelum amandemen, dan membuat kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertnggi Negara.
Setelah amandemen pasal tersebut diatas, pelaksana kedaulatan dilaksanakan berdasarkan UU bukan lagi MPR dan selain itu kedudukan MPR kini menjadi lembaga Negara bukan lagi lembaga tertinggi Negara dan posisinya menjadi horizontal.

Perubahan dalam tugas wewenang dan susunan keanggotaan MPR

Dalam amandemen UUD 1945 pada pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang” mengisyaratkan bahwa kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara, dan tidak lagi memegang kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut juga berimplikasi pada pengurangan kewenangan MPR. MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden karena dipilih langsung oleh rakyat dan wewenang MPR sekarang sekedar melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilu, serta MPR tidak dapat lagi memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, tetapi kewenangan itu baru muncul bila ada usul dari DPR setelah MK memeriksa, mengadili, dan memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden bersalah.  
 Pembahasan mengenai perubahan MPR dalam hal tugas wewenang dan susunan keanggotaan kirannya terkait pula pada perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka structural parlemen Indonesia yang terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.    Susunan keanggotaan MPR berubah secara structural karena dihapuskannya  keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR
2.    Majelis tidak lagi berfungsi sebagai “supreme body” yang memiliki kewenangan tertinggi tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar.
3.    Diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan UUD 1945. Dengan  perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip supremasi parlemen.
4.    dengan diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam pasal 6A ayat (1) Perubahan ketiga UUD 1945, maka konsep dan pertanggung jawaban Presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat.

Cikal bakal penerapan sistem mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara (check and balances) di Indonesia

Dengan adanya suatu perubahan secara structural terhadap MPR dari hierarki vertical menjadi horizontal, maka dari hal inilah cikal bakal penerapan sistem check and balances di Indonesia dipergunakan. Semasa MPR menjadi lembaga tertinggi Negara, maka pertanyaan pun bermunculan seputar, siapakah yang mengawasi MPR bilamana MPR menggunakan kekuasaan tanpa batas dan tanpa kontrol, dan juga terlihat bahwa semasa pemerintahan Indonesia masih menganut parlementer, presiden masih bertanggung jawab terhadap MPR. Namun setelah menganut sistem pemerintahan presidensial sekaligus juga kedudukan MPR sudah menjadi horizontal, hal ini tidak lagi dilakukan. Dengan posisinya sekarang ini MPR sederajat dengan lembaga Negara yang lain. Terkait pada sistem mengawasi dan mengimbangi antarlembaga Negara, lembaga Negara melakukan hubungan satu dengan lainnya baik searah maupun hubungan dua arah sebagaimana UUD mengatur tugas serta hubungan masing-masing lembaga dengan jelas. Aspek perimbangan kekuasaan mengenai hubungan Presiden dan DPR, Presiden dan MA, tampak dalam perubahan pasal 13 dan 14.
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan adanya check and balances ini maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol sengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan Negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang  menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
HUKUM © 2010 | Designed by Chica Blogger & editted by Blog Berita | Back to top