Berdasar ketentuan hukum yang berlaku Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila
telah memenuhi empat syarat komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang
terdapat dalam Pasal tersebut, yaitu:
a.
Adanya
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320
ayat (1) KUHPerdata. Seseorang dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming), kalau orang memang
menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan
antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa
yang dikehendaki pihak lain.[1]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada
empat teori tentang saat terjadinya sepakat yaitu:[2]
1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat dinyatakannya
kehendak pihak penerima.
2) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat
kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada
saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Kesepakatan dalam hal ini harus timbul tanpa ada unsur
paksaan, intimidasi ataupun penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
1) Pasal
1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari batalnya
perjanjian karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Perjanjian batal
dalam KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi hukum atau dapat
dibatalkan. Dalam hal kesepakatan yang menjadi syarat sahnya perjanjian dibuat
atas suatu paksaan, kekhilafan, atau penipuan, perjanjian menjadi dapat
dibatalkan.
2) Pasal
1322 KUHPerdata menyatakan:
“Kekhilafan
tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu
terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.Kekhilafan tidak
menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya
orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika pesetujuan
itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
3) Pasal
1323 KUHPerdata menyatakan:
“Paksaan
yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan
untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang
pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
4)
Pasal
1328 KUHPerdata menyatakan:
“Penipuan
merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang
dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupasehingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan
tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan.”
Pasal ini menyebutkan kata “pembatalan”, pembatalan yang
dimaksudkan adalah perjanjian menjadi dapat dibatalkan, bukan pembatalan demi
hukum.
b.
Kecakapan
bertindak para pihak untuk membuat perjanjian
Seseorang adalah cakap apabila ia pada
umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang mampu membuat sendiri
perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat hukum yang sempurna.[3]
Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu
hukum yang berkembang dapat dibedakan ke
dalam:[4]
1)
Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
2)
Kewenangan
untuk bertindak selaku
kuasa pihak lain,
yang dalam hal ini
tunduk pada ketentuan
yang diatur dalam
Bab XIV KUHPerdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.
3)
Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya
sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum meliputi: anak di bawah umur (belum berusia 18 Tahun
berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan (UUP) yang berlaku
sekarang), Orang berada di bawah pengampuan (berada dalam keadaan dungu, sakit
otak atau mata gelap dan boros).
Syarat sahnya perjanjian yang kedua ini
sama dengan syarat kesepakatan para pihak, termasuk dalam syarat subjektif.
Tidak terpenuhinya syarat kecakapan bertindak ini memiliki akibat yang sama
dengan tidak terpenuhinya syarat kesepakatan dari para pihak, yang berarti
berakibat perjanjian menjadi dapat dibatalkan.
c.
Ada
suatu hal tertentu (objek perjanjian)
Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata
menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”.
Riduan Syahrani memberikan keterangan mengenai syarat ini
sebagai berikut:[5]
Suatu
hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1)
KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga
dapat menjadi objek suatu perjanjian.
Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus ada objek
perjanjian yang jelas. Objek yang diatur dalam perjanjian harus jelas
terperinci atau setidaknya dapat dipastikan. Jika objek itu berupa suatu
barang, maka barang itu setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Objek
perjanjian yang jelas dapat memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat
perjanjian dan mencegah perjanjian yang fiktif.
Selain objeknya harus jelas, suatu hal
tertentu di sini harus pula:
1) Benda
yang menjadi objek perjanjian harus benda yang dapat diperdagangkan;
2) Barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum,
pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidak dapat dijadikan objek
perjanjian;
3) Dapat
berupa barang yang sekarang ada atau yang nanti akan ada.
Syarat ini termasuk dalam kategori syarat objektif. Tidak
terpenuhinya syarat objektif ini mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi
hukum.
d.
Adanya
suatu sebab yang halal
Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu
sebab yang diperbolehkan atau halal berarti kesepakatan yang tertuang dalam
suatu perjanjian:
1) tidak
boleh bertentangan dengan perundang-undangan;
2) tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
3) tidak
boleh bertentangan dengan kesusilaan.
Yang dimaksud dengan kausa bukanlah hubungan sebab
akibat, sehingga pengertian kausa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan ajaran kausaliteit.
Berikut ini adalah ketentuan hukum dalam
KUHPerdata yang mengatur mengenai sebab yang halal:
1) Pasal
1335 KUHPerdata menyatakan:
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum”
Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika perjanjian
dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh hukum. Agar
memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang jelas,
sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan
perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak.
2) Pasal
1336 KUHPerdata menyatakan:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada satu sebab
yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain yang daripada yang
dinyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
3) Pasal
1337 KUHPerdata menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila terlarang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.”
Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua
kelompok. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut
pihak-pihak yang membuat perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat
objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat
subjektif menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, yang artinya bahwa salah
satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
telah disepakati tersebut, sedangkan bila tidak terpenuhinya syarat objektif
menyebabkan perjanjian batal demi hukum.
[1]
J. Satrio, Hukum
Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, hlm.128.
[2] Mariam
Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III
tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996, hlm.98
[3] Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, cet ke 3, 1987,
hlm 61
[4] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 127
[5] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2004,
hlm.209-210
Hanya 1 yang Saya tanyakan dan Anda Wajib jawab guna kepentingan Rakyat. Setiap Pasal Tahun berapa ? Terima Kasih.
BalasHapus