Selasa, 13 November 2012

Asas Hukum Perjanjian



a.    Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian dikatakan menganut sistem terbuka karena hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian, asalkan tidak melanggar hukum (undang-undang), agama, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka buat itu. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid). Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang bernama maupun yang tidak bernama dalam undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan.

b.    Asas Konsensualisme
Asas ini terdapat pada kata “dibuat secara sah” dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Maksud dari kata “dibuat secara sah” adalah dibuat menurut syarat-syarat perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya pada butir 1 mengenai syarat kata sepakat para pihak dalam perjanjian. Adapun menurut A. Qirom Syamsudin M, asas konsesualisme mengandung arti bahwa:[1]
“dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.”
Perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian.

c.    Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) merupakan itikad baik yang objektif yaitu itikad baik saat pelaksanaan perjanjian. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak karena unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak (itikad baik subjektif) sudah dapat dicakup oleh unsur  “sebab yang halal” dari Pasal 1320 tersebut.

d.    Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Maksud dari kata “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” adalah isi dari perjanjian harus dianggap sebagai undang-undang yang mengikat bagi mereka. Jadi para pihak terikat untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat.

e.    Asas Kepribadian
Asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan para pihak saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang dirumuskan sebagai berikut:
“Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri”
Pasal 1315 KUH Perdata ini dipertegas dengan rumusan Pasal 1340 KUH Perdata:
“Perjanjian-perjanjian hanya berlaku di antara pihak-pihak yang membuatnya”
Kedua Pasal tersebut menerangkan bahwa pada dasarnya perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya, sehingga tidak boleh seseorang melakukan perjanjian yang membebani pihak ketiga. Pihak ketiga tidak memiliki kepentingan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak lain, sehingga dia tidak boleh dibebankan untuk harus melakukan sesuatu atas perjanjian yang dibuat pihak lain.



[1] A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 20

2 komentar:

  1. Ijin kasih komentar....nampaknya isinya universal dgn kebanyakan di blog orang lain. Apakah ini origina dari tulisan anda atau (MAAF) copy and paste dari tulisan orang lain yang belum tentu original juga?

    Salam,
    Barkah

    BalasHapus
  2. Terima kasih membantu memperjelas mengenai pemahaman maksud Itikad Baik.

    BalasHapus

 
HUKUM © 2010 | Designed by Chica Blogger & editted by Blog Berita | Back to top