Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang[1]. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas:[2]
a. Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta dihargai sendiri-sendiri
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.
Masalah mengenai penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP berbunyi:[3]
(1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.
2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang bersangkutan.”
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:
“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
a. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;
b. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga sering disebut sebagai mededaderschap
c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
d. Medeplichtigheid atau pembantu
Ad.a
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, malinkan dengan perantara orang lain. Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri. Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP yaitu:
1. orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:
a) seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP
b) orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan
c) orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut
d) orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas
e) orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan
f) orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu
g) orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
2. Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu
3. Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
Ad.b
Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk keikutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.[4]
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.
Ad. c
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.[5]
Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak (membujuk melakukan):[6]
1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang digerakkan
Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh melalui pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka penggerak tidak dapat dipidana.
2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang
Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.
a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.
b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang disalahgunakan itu.
c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.
d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti hatinya.
e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.
f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan. Akibat dari penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.
g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan dengan pasal 55.
3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena daya-upaya tersebut
Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung.
4. Pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.
Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).
Ad.d
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
1. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
a. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
c. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.
2. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana
a. Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
b. Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
c. Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
a. Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP). [1] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa , hlm. 497
[2] Ibid. hlm. 498
[3] Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jakarta: Bumi Aksara, 2003, ketentuan pasal 55 dan 56
[4] P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, hlm. 583-585
[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002. hlm 350-359.
[6] Farah Fitriani, Penyertaan (deelneming) dalam hukum pidana, <farahfitriani.wordpress.com>, [25/05/2012]
Mantaaaaab................!!!
BalasHapusThanks sob....,sangad membantu....!!!
terima kasih..,bro..,
BalasHapuscontoh kasusnya mana??
BalasHapus