I.Pendahuluan
Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat melakukan gugatan kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan hukum.[1] Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan orang-orang ataupun suatu badan hukum.
Apabila pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian datang pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.
Dalam membuat gugatan tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara. Kesalahan dalam membuat gugatan sehingga secara formil tidak terpenuhi akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan eksepsi.
Namun yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan menjadi ditolak.
Oleh karena itu dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat jangan sampai kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan.
II.Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang mengakibatkan syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat gugatan kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat pembuatan Surat Kuasa Khusus maka dalam membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan hukum ataukah pula sebagai keduanya ?
2. Di- pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada hubungan hukum sebelumnya ?
3. Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian ataukah hanya berupa foto copi saja?
4. Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam membuat suatau gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang –kadang bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah terkumpul maka adakalanya diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir. Demikian pula bila yang digugat adalah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut dapat digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor pusat bank tersebut yang digugat karena bank cabang.[2]
Pada waktu melakukan investigasi tersebut juga perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai jaminan atas gugatan klien kita harus jelas diketahui batas-batasnya juga data-data pendukungnya.
Kalau perlu diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan sengketa yang merugikan klien kita kemudian dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu gugatan maka langkah pertama adalah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah pernah diuraikan.
III. Menentukan siapa yang menjadi Penggugat
Untuk dapat menntukan siapa yang akan menjadi Penggugat atau yang berhak secara hukum memberikan kuasa kepada kita maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila klien kita yang dirugikan berupa perorangan maka yang perlu diteliti adalah apakah dia mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap atau namloze vennoschap (cv) maka yang dapat bertindak sebagai penggugat sekaligus pemberi kuasa adalah para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa badan hukum maka kita harus lebih cermat untuk menentukan siapa yang dapat mewakili dari badan hukum itu.
Tapi secara umum yang dapat memberikan kuasa atau mewakili sebagai penggugat adalah Direksi yang memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya. Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.
IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat
Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah ada pihak yang dianggap telah melakukan tindakan yang merugikan hak keperdataan klien kita dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum ?
2. Apakah diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai hubungan hukum ?
3. Bila mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4. Perlunya informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam hubungan dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara hukum apabila ada perbuatan yang dilakukan yang menurut pandangan satu pihak wajar dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai suatu tindakan kelalaian yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata dapat dituntut secara hukum penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak yang dianggap merugikan secara langsung tersebut dimasukan sebagai Tergugat utama baru ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan adalah dal;am penyusunan gugatan terhadap perkara yang demikian penyusunan para tergugat tersebut harus memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR. Ketentuan ini harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian ternyata ada hubungan hukum sbelumnya dimana hubungan hukum itu berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah sepakat mengenai pengadilan atau badan tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan hukum maka pengajuan gugatan dilakukan ditempat yang yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para pihak yang akan digugat adalah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan. Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat biaya sita menjadi membengkak karena adanya duakali atau lebih permohonan sita. Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut seperti batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa, sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula, dan kadang-kadang gugatan bisa menjadi batal.[3]
Detail yang lengkap ini diperlukan agar pada waktu pendaftaran sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan sita jaminan yang sah dan berharga.
Kadangkala bila tanahnya belum bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita acaranya diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi tidak bersedia melakukan pembuatan akte jual beli tersebut.
V. Persona Standi in Judicio
Setelah menentukan siapa Penggugat dan siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana gugatan itu akan diajukan maka hal itu merupakan bagian dari persona standi dari gugatan ini.
Untuk lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak sama maka dapat membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data seperti nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas sebagai Tergugat harus jelas benar. Apakah Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu badan hukum. Atau dapat pula digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan badan hukumnya sekaligus.
VI. Posita Gugatan
Dalam penyusunan posita dalam praktek dapat diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model pertama, bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan hubungan hukum dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada bagian posita gugatan akan disusun sedemikian rupa dari masalah yang luas menjadi menyempit seperti kerucut. Sehingga setiap orang akan mudah memahami bila gugatan tersebut adalah merupakan gugatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan peristiwa hukum telah disusun dengan baik. Penyusunan model demikian akan nampak jelas mudah dipahami karena peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits) yang merupakan dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa hukum yang disusun jelas nampak kapan tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih sempurna bila gugatannya dibuat dengan memperhatikan syarat formil dan materiil suatu gugatan.
Model kedua, dalam penyusunan gugatan maka peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan dapat tahap berikutnya setelah ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian dipakai bila kuasa hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Namun bisa juga karena ada hubungan hukum tertentu dari peristiwa hukum yang diajukan masih samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada tahap Replik baru sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya dipakai juga bila kliennya hanya memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian bukti saja sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya berada di tangan tergugat atau pihak lain.
Model ketiga, bila klienya hanya memiliki sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun karena disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing dan memberikan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam Dupliknya . Kadangkala ada juga pengacara yang begitu mudah terpancing sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun sering pula dalam praktek kuasa hukum lawan tidak mau terpancing, terutama pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian dia akan menyatakan akan menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya pasti akan menyatakan bukti asli tidak ada pada kliennya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai dalam pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag). Permohonan sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan tersebut tidak menjadi sia-sia belaka harus diajukan bersama-sama dalam gugatan. Kadang-kadang walau telah diajukan dalam posita gugatan juga diajukan lagi dalam permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari tanggung jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat berkas masih berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan pula alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan gantirugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
VII. Petitum Gugatan
Apabila kita membuat petitum dalam suatau gugatan maka dalil-dalil yang akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita, baru dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu tak dapat dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya. Secara standar yang dimuat pertama kali pada petitum dalam perkara wan prestasi adalah klausul :
“Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya”;
“Menyatakan secara hukum Tergugat telah cidera janji “
“Menyatakan batal demi hukum atau menyatakan sah demi hukum perjanjian…..”
“Menyatakan secara hukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi…..”
Bila ada persengketaan bezitrecht maka klausulnya adalah “ Menghukum Tergugat/para Tergugat atau siapapun yang memperoleh dari Tergugat untuk menyerahkan sebidang tanah dan bangunan aquo kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik”.
“Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”.
“Menghukum Tergugat/para Tergugat untum membayar dwangsom sebesar……”.
“dan seterusnya sesuai dengan masalahnya.
“ Biaya perkara menurut hokum.
Kemudian kebanyakan ditambah pula petitum subsidairnya dengan klausul,
“ A t a u, bila Mejelis berpandangan lain mohon diberikan putusan seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan YME”.
Sedangkan kalau gugatan itu merupakan gugatan melawan hukum maka petitum yang diajukan adalah ;
“Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya”.
“Menyatakan bahwa Tergugat/para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat untuk membayar ganti rugi (secara tanggung renteng) secara tunai kepada Penggugat meliputi,
- Ganti rugi materiil sebesar……..
- Ganti rugi immateril sebesar…
“Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat membayar dwangsom sebesar….”
“.Biaya perkara menurut hukum”
Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair atau ex aquo et bono
[1] Putusan MA-RI No. 4 K/Rup/1958 tgl. 13 Desember 1958.
[2] Putusan MA-RI No. 2678 K/Pdt/1992 tgl. 27 Oktober 1994 jo Putusan Pengadilan Tinggi Aceh No. 41 K/Pdt/1992/PT. Aceh tgl. 13-4-1992 jo Putusan Pengadilan Negri Lhokseumawe No.477/Pdt/1991/PN. Lhokseumawe tgl. 19Nopember 1991.
[3] Putusan MA-RI No. 1149 K/Sip/1975 tgl. 17 April 1969 .
Terima kasih untuk penjelasan yang sangat bermanfaat ini.
BalasHapus